Kunjungan Apa Wisata


Oleh : Dr. Aliyadi


Dalam era digital seperti sekarang ini dunia sudah tanpa batas, ilmu ditawarkan dengan berbagai cara, semua orang bisa mengakses secara langsung dari berbagai referensi. Pertanyaannya kalau kita sudah dapat ilmu bisa tidak untuk menjawab tantangan dunia saat ini? setidaknya menjawab tantangan untuk diri sendiri (untuk hidup), jangan-jangan sepertinya berilmu banyak, pendidikannya juga tinggi tapi masih saja mengeluh seperti keluhan nenekku dulu yang masih hidup dengan segala kekurangan atau era zaman gelap gulita (belum ada listrik masuk desa maksudnya), terus karena tidak bisa menjawab tantangan hidup lalu mencari pembenar yaitu menyalahkan orang lain.
Ilmu yang sudah bertebaran tersebut kita juga masih bingung dan gamang, industri dan teknologi meluncur begitu cepat dan sebagian yang punya ilmu juga bergentayangan menawarkan ilmu-ilmu mereka dengan cara mengundang kita untuk kerjasama atau krennya MoU (momorandum of understanding), lalu kitapun tertarik untuk mengikuti arus tersebut, apakah setelah MoU dan mengunjungi kampus yang kita anggap kren tersebut bisa ditindaklanjuti atau latah saja takut dianggap “ndeso”, atau hanya dolan saja, itu tergantung perspektif kita memandang. Jangan sampai kunjungan dengan kadang biaya tidak sedikit dengan hasil MoU menjadi dokumen yang tanpa makna atau sleeping MoU saja kata teman saya. 
Setelah kita ikuti  beberapa kunjungan dan kerjasama hanya sebatas itu, kalau ada bentuknya juga tidak jelas karena kita sendiri belum menemukan pola atau mempersiapkan rencana kegiatan apa yang akan dikerjasamakan, apa hanya bererjasama dalam bentuk penelitian sosial atau pada tataran ilmu eksakta atau ilmu terapan, yang muara akhirnya berpendapat dan berpendapatan dari hasil risetnya, bukan uang risetnya.
Kalau kita melihat perkembangan ilmu terapan kiblatnya sudah beralih, dulu Eropa, Amerika bahkan terakhir Jepang sangat menguasai teknologi apapun, tapi kini bergeser selangkah demi langkah meuju semenjung korea selatan dan sekarang tersedot oleh clean master China. China mulai pemerintahan deng xiaoping merubah tatanan ekonominya dari sangat tertutup menjadi terbuka dengan satu ungkapan “tidak perduli kucing warna putih atau kuning yang penting bisa menangkap tikus”, artinya tidak terkungkung oleh bentuk ekonomi kapitalis atau sosialis yang penting bisa memakmurkan rakyatnya. 
Lalu dengan perubahan tersebut masihkah relevan kita berkunjung pada negara-negara yang sudah mulai ditinggal oleh era global ini, sebab pendidikan yang mereka tawarkan tetap saja kapitalis artinya mahal, untuk biaya hidup saja kalau kita bandingkan dengan lingkungan kampus kita ampun tidak terjangkau, apalagi penghasilan orang tua mahasiswa kita hanyalah petani tradisonal. Mahal harganya tapi kurang berdayaguna, disekeliling kita sudah berserakan barang produksi Shenshi dengan harga sangat murah, sementara kita baru mau belajar mengeja kalimat tersebut.
Semoga kunjungan kita bukan hanya dolan menghabiskan biaya semata tapi ada tindaklanjut sehingga ada manfaat yang bisa kita peroleh, semoga ada manfaat yang lebih baik lagi demi kemajuan kampus kita tercinta Universitas Muhammadiyah Jaya...semoga!!!

Komentar

Postingan Populer